musik genggong
setiap suku di Nusantara memiliki kesenian tradisional masing-masing, baik itu berbentuk seni tari, seni rupa, hingga seni musik. Kesatuan seni inilah yang menjiwai kebudayaan dan kehidupan suatu suku. Begitu pula keseharian warga Suku Sasak yang mendiami Pulau Lombok, Nusatenggara Barat. Selain mempertahankan adat dan budaya, penduduk asli Pulau Lombok ini juga memelihara berbagai kesenian khas mereka. Satu di antaranya adalah seni musik genggong, musik yang didominasi alat tiup yang mempunyai senar seperti kecapi.
Sayangnya, hingga saat ini, hanya segelintir warga Sasak yang mahir memainkan alat musik yang terbuat dari pelepah pohon enau tersebut. Seorang di antaranya adalah Darmawi, warga Kampung Pagutan, Mataram, Lombok, NTB. Sang peniup genggong inilah yang mempertahankan keberadaan kesenian yang hampir punah tersebut. Darmawi bukan saja mahir memainkan genggong. Bagi orang Sasak, dia semacam roh bagi keberadaan genggong. Dengan kata lain, dia-lah yang memberikan kehidupan pada genggong, menciptakan sendiri perangkatnya, menyelaraskan irama, dan menciptakan beberapa gending baru.
Darmawi mengaku mempelajari kemahiran memainkan genggong itu sejak kecil. Uniknya, dia mempelajarinya dengan melihat atau mendengar langsung dari orang lain. Dengan bakat seni yang dimiliki, Darmawi cepat menguasai alat musik khas sukunya. Setelah mahir memainkannya, dia juga mencoba membuat sendiri genggong. Nama Darmawi pun harum di kalangan Suku Sasak. Dia pun masuk hitungan sebagai seniman genggong yang terkenal. Banyak kreasi baru seni genggong yang tercipta atau mengalir darinya.
Awalnya, genggong adalah seni sakral yang hanya dimainkan saat gerhana bulan. Genggong pun menjadi seni rakyat yang cukup populer pada era 70-an. Tapi, seiring perubahan zaman, seni musik tradisional itu kian terpinggirkan. Meski mulai tak populer lagi, Darmawi masih memainkan alat musik tersebut.
Seperti halnya kepopuleran genggong yang memudar, nasib Darmawi pun seakan tak beranjak. Kesetiaan terhadap genggong ternyata tak membuat dia menjadi lebih mapan. Darmawi tetap menjalani lakon hidup sebagai seorang tukang sampah di Terminal Mandalika. Namun, rutinitas itu tak cukup menghalangi keasyikannya memainkan genggong.
Di kala senggang, dia kerap memainkan genggong di rumahnya. Alunan musik inilah yang kemudian memancing minat warga lain untuk berkumpul. Tak jarang dari mereka belajar meniup dan memetik genggong. Itulah satu-satunya kebahagian bagi Darmawi. Soalnya, sebagian warga mulai menerima kesenian khas Suku Sasak tersebut. Bahkan, Darmawi kini cukup tenang karena semua ilmunya telah diwariskan kepada seorang keponakannya, Samsuddin.
Sebagai seorang muslim yang taat, Darmawi tergolong minoritas di kampung yang sebagian besar penduduk beragama Hindu. Namun, kemampuan bermain genggong membuat pergaulannya dengan warga Pagutan lainnya seolah menjadi tak terbatas.
Pada masa lampau, Pagutan adalah pusat sebuah kerajaan Hindu yang didirikan para imigran dari Kerajaan Karang Asem, Bali. Itulah sebabnya, nuansa Hindu terasa kental di desa yang didiami Darmawi. Di desa ini, Darmawi tinggal bersama lima orang kerabat di atas sebidang tanah yang dikelilingi warga-warga lainnya. Namun, kehadiran Darmawi dan kawan-kawannya yang beragama Islam tak pernah dipermasalahkan di tempat ini.
Keharmonisan yang terjalin antara pemeluk Islam dan Hindu di desa Pagutan, tampaknya tak bisa dilepaskan dari kesenian genggong yang secara tidak langsung mampu menyatukan mereka. Bahkan, seorang warga Pagutan bernama Ketut Nareda memberikan beberapa sentuhan kesenian Bali. Alhasil, alunan irama genggong yang dimainkan Darmawi kini bernuansa Hindu. Warga Pagutan pun kerap mengundang Kelompok Darmawi tampil memeriahkan acara mereka.
Andil Ketut itulah yang kemudian merekatkan hubungan dengan Darmawi. Ketut dengan kemampuannya sebagai seniman gendang mempunyai pengalaman yang lebih luas dalam memasarkan seni untuk kepentingan pariwisata di Pulau Lombok. Bahkan, atas jasa Ketut-lah, maka genggong dapat tampil di beberapa hotel di Lombok.
Harmonisasi antara warga Islam Sasak dan warga Hindu Pagutan juga terbentuk melalui tiupan seruling Samsudin. Kepandaian Samsuddin, murid terkasih Darmawi, seolah mempunyai daya magis yang dapat mengundang warga datang berkumpul mengitarinya. Dengan piawai, Samsuddin memainkan sejumlah gending. "Gending Turun Daun", misalnya, mengisahkan perselisihan antara sepasang kekasih. Sehingga membuat hati mereka tak punya pegangan lagi, layaknya selembar daun yang jatuh dari atas pohon.
Namun, gending tersebut juga mengandung suatu pesan khusus. Menurut Samsuddin, dia membunyikan gending itu sebagai imbauan perdamaian. Terutama bagi saudara-saudaranya di tempat lain yang masih terpecah dalam konflik antaragama agar kembali menyatu layaknya sepasang kekasih.
Sementara bagi umat Hindu di Pagutan, musik genggong dapat menyemarakkan upacara keagamaan mereka. Upacara Haturan Canang yang digelar Ketut, misalnya. Pada upacara ini, dia akan memenuhi nazar dengan menanggap genggong. Ini sebagai satu di antara rangkaian selamatan atau mensyukuri melimpahnya rejeki dari hasil jualan gendang dan ayam aduan.
Tak hanya menanggap genggong, Ketut pun menyelenggarakan sabung ayam. Menjelang matahari terbenam, dua anak Ketut melakukan Upacara Haturan Canang di pura milik keluarga. Seluruh acara ini diselenggarakan sebagai persembahan kepada Sang Hyang Widi Wasa, serta para dewa dan arwah para leluhur.
Seusai upacara tadi, para undangan mulai berdatangan ke pura. Darmawi bersama anggota kelompoknya pun memasuki pura, mereka mempersiapkan diri memainkan genggong. Dalam komposisi lengkap seperti ini, genggong tak lagi dimainkan secara murni. Persentuhan dengan unsur kesenian Bali membuat beberapa alat tambahan turut dimainkan. Hadirnya pethuk dan rincik menyatu dengan alunan tembang genggong. Sementara lengkingan seruling yang ditiup Samsuddin membuat suasana terasa lebih hidup.
Malampun kian larut. Beberapa tembang dimainkan. Berbagai gending sakral hingga gending lucu dimainkan silih berganti mengiringi ucap syukur Ketut Nareda. Alunan genggong inilah yang semakin merekatkan atau menyambungkan rasa di antara pemeluk Islam dan Hindu. Suasana penuh toleransi yang nampaknya mulai hilang di sejumlah daerah konflik di Tanah Air
Tidak ada komentar:
Posting Komentar